Jumat, 20 Februari 2009

Mitos tidak benar

Fitness untuk anak dan remaja itu yang bagus, benar, dan aman itu yang seperti apa sih? Jawabannya adalah strength training. Caranya mirip weight training atau resistance training, tapi yang di incar bukanlah hipertropi (pembesaran otot ala orang dewasa), tapi yang di incar adalah kekuatan otot. Penasaran? Teruskan membaca tulisan ini.

Apakah strength training aman untuk anak-anak? Jawabannya bervariasi, tergantung seberapa pintarnya orang yang anda tanyakan hal tersebut. Jujur saja, saat ini dalam dunia fitness, jawaban atas pertanyaan itu masih terpecah jadi 2 kubu, masih simpang siur, dan menjadi bahan perdebatan selama beberapa dekade terakhir ini. Akibatnya banyak orang tua kebingungan menyikapinya. Ada yang bilang “tidak bagus”, ada yang bilang “bagus”. Jika anda para orang tua juga bingung soal topik ini, tenang saja, anda tak sendirian.

Semua ini terjadi karena minimnya pemahaman publik akan latihan beban itu sendiri. Intinya adalah, program latihan beban pada anak tidak sama dengan orang dewasa. Para orang tua jadi takut, karena menyangka cara latihannya sama dengan orang dewasa. Mereka takut angkat beban bisa menghambat pertumbuhan anak (daerah cartilage, cikal bakal tulang). Tulang anak kecil dianggap tak cukup kuat menahan stress fisik. Adanya beberapa kasus kerusakan ‘pelat pertumbuhan’ (struktur epiphyseal) pada anak, itu lebih disebabkan kurangnya pengawasan pelatih, pemakaian beban berlebih, dan teknik latihan tak benar.

Menyalahkan kerusakan epiphyseal pada anak akibat latihan beban adalah anekdot, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Asal tahu saja, jumlah kasus kerusakan seperti itu (pada anak), jumlahnya lebih rendah dibandingkan pada remaja karena epiphyseal plate mereka lebih kuat, lebih mampu menahan kekuatan dari luar.

Apakah dampak negatif strength training for kids itu lebih parah ketimbang jika dilakukan mereka yang lebih dewasa? Belum ada bukti yang mengarah pada hal itu. Dahulu memang ada beberapa penelitian yang berusaha menjawab pertanyaan itu. Sayangnya dilakukan secara tidak komprehensif. Tentu saja hasil laporan mereka menyeramkan, kian memperparah mitos salah kaprah soal fitness for kids.

Contohnya saja penelitian 1978 oleh Vrijens yang menunjukkan, selama 8 minggu menjalani resistance training, ternyata para anak-anak tak mampu meningkatkan kekuatan ototnya. Tapi jika dilakukan para remaja, justru sebaliknya, mereka mengalami peningkatan kekuatan otot. 1 dekade kemudian, penelitian sejenis dilakukan oleh Docherty, yang menunjukkan jika anak umur 12 tahun tidak mendapat keuntungan dari program strength training yang diikutinya.

Kelemahan kedua penelitian tersebut adalah – para ilmuwan hanya memakai daya resistance yang rendah, hanya 1-2 set latihan per sesi saja. Volume intensitas dan durasi latihannya terlalu singkat. Terlalu sedikit tentu saja, sehingga hasilnya tak bisa dipertanggungjawabkan. Penelitian mereka kebanyakan memakai metodologi yang buruk.

Tapi karena hasil penelitian tersebut sudah terlanjur diumumkan ke publik, maka tumbuhlah mitos salah kaprah. AAP menyuarakan pernyataan sentimen di tahun 1983, yaitu “Anak lelaki yang mendekati masa puber (yang mulai tumbuh bulu kemaluannya, baik tahap 1 atau 2) sama sekali tidak mengalami peningkatan kekuatan/massa otot selama ikut program latihan beban. Penyebabnya mereka tak punya cukup banyak androgen dalam tubuh mereka. Karena itu, resistance training bagi anak/remaja dianggap tidak perlu/tidak berguna.”

Dalam penelitian mereka, para ilmuwan jaman dulu lupa memasukkan parameter penting seperti “pertumbuhan sang anak”. Pertumbuhan anak menjadi orang dewasa, biasanya diiringi dengan naiknya kekuatan fisik mereka, dengan atau tanpa latihan. Jadi kalau anda mau merancang program strength training for kids, maka frekwensi, durasi, dan intensitas latihannya juga musti disesuaikan dengan pertumbuhan sang anak itu sendiri. Dan parameter inilah yang diabaikan penelitian jaman dulu.


Kesalahan lain para ilmuwan terdahulu adalah memakai ukuran otot sebagai patokan efektif tidaknya strength training for kids. Mustinya yang benar adalah memakai faktor neural sebagai tolak ukur prestasi sang anak, bukan ukuran otot. Kenapa? Normalnya otot dikendalikan dengan cara mengaktifkan unit unit motor. Tiap unit motor tersebut mengendalikan sejumlah serat otot tubuh. Aktifitas fisik yang sepele seperti seperti kedip mata, menulis, dll - hanya mengaktifkan sejumlah kecil unit motor saja. Tapi aktifitas berat seperti squat, bench press – akan mengaktifkan sekian banyak unit motor. Kita bisa melatih sistim syaraf sang anak dengan melibatkannya dalam strength training, sehingga mereka bisa mengaktifkan sebanyak mungkin unit motor yang ada pada tubuh mereka (baca: kontraksi sebanyak mungkin otot tubuh), jika dikehendaki/diperlukan. Semakin banyak yang bisa diaktifkan, maka semakin kuat sang anak. Setelah latihan 10 minggu, unit motor pada bagian flexor siku dan extensor lutut sang anak bisa meningkat 9% dan 12%. Jadi benefit fitness untuk anak lebih kepada kekuatan otot, bukan ukuran otot.

Selain itu, orang tua takut memasukkan anaknya ke gym karena dampak publikasi oleh National Electronic Injury Surveillance System of the US Consumer Product Safety Commision. Salah satunya disebutkan dari 1991-1996, diperkirakan terjadi 20.940 s/d 26.120 kasus cedera angkat beban oleh anak (umur 0-21) yang butuh penanganan segera tiap tahunnya. Sayangnya tidak dijelaskan anak yang mana saja yang ikut program pengawasan yang benar dan yang tidak.

Mitos yang bilang ikut fitness akan menganggu pertumbuhan/tinggi badan anak adalah pemahaman keliru. Mitos ini muncul akibat hasil sebuah penelitian jaman dulu (Kato & Ishiko, 1964) yang mengkaitkan terhambatnya pertumbuhan buruh anak di Japan yang biasa memikul beban berat di pundaknya selama beberapa jam per hari, dengan latihan beban. Ada beberapa parameter penting yang dilupakan penelitian tersebut seperti seperti miskinnya nutrisi, kurang tidur, dan kondisi kesehatan anak keseluruhan. Kesemuanya bisa mempengaruhi pertumbuhan (Faigenbaum, 2001).

Strength training for kids lebih aman ketimbang gymnastik. Orang tua jaman sekarang senang sekali memasukkan anaknya dalam kelas gimnastik. Lagi trend, lagi populer, katanya. Keahlian menahan beban pada gimnastik dan latihan beban, sama sama dibutuhkan anak. Cuma dampaknya beda. Gymnastik mengandung banyak unsur peregangan dan dilakukan terus menerus, akibatnya pertumbuhan fisik anak bisa terganggu sampai ke titik dimana fisik anak tak lagi mampu untuk stretching lebih jauh lagi, pertumbuhan tinggi badan anak terhenti. Tak heran jika para gymnastik rata-rata punya fisik pendek.

Sadar akan kesalahannya, akhirnya AAP merevisi pernyataannya (2001) yang kini berbunyi “Penelitian menunjukkan strength training, asalkan diprogram dengan benar (frekwensi, jenis angkatan, intensitas, durasi latihan), maka akan bisa meningkatkan kekuatan anak dan remaja.”

Kini para ilmuwan fitness sudah sadar. Sang anak tidak perlu menambah beban progesif layaknya orang dewasa di gym, karena anak tidak bakalan (belum waktunya) bisa membesarkan ototnya (hipertropi), kecuali jika sudah lewat masa puber (Tanner tahap 5 / mendekati dewasa). Hipertropi mustahil terjadi pada anak, karena kadar hormon androgen (termasuk testosterone) mereka masih rendah. Demikian menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) dan the American Orthopaedic Society for Sports Medicine (AOSSM). Kalaupun terjadi hipertropi, ukuran otot tetap bukan faktor penentu kekuatan otot anak, tapi lebih ditentukan oleh pembelajaran neuromuscular.

Asalkan diawasi secara ketat oleh pelatih, tidak over-training (kebanyakan), pakai beban ringan s/d sedang, pakai teknik benar, justru fitness for kids akan memperkuat mineral tulang (Morris et al., 1997). Dari sini tumbuh kemampuan anak menahan tekanan (kompresi). Tubuh anak dipaksa tak punya pilihan lain, selain tumbuh dan terus tumbuh. Resistance training tak akan mempengaruhi genotypic maksimal seseorang.

Penderita Osteoporosis (penyakit keropos tulang) saat ini sudah mencapai 20 juta orang di Amerika saja. Penyebabnya bukan cuma karena kekurangan kalsium saja. Ingat, sebagian besar dari mereka doyan ngemil, dan banyak makanan siap saji yang mengandung kalsium didalamnya. Sayangnya apa yang mereka makan juga berkategori sampah (junk-food), sehingga kalsium yang masuk juga banyak terkuras keluar tubuh. Akibat kurang kalsium, maka tubuh otomatis mengambil kalsium dari tulangnya sendiri. Ingat pepatah “Jika anda makan sampah/junk-food, maka tubuh anda juga akan terlihat seperti sampah.” PLUS diperparah dengan gaya hidup mereka yang malas. PLUS pertambahan umur juga menurunkan kepadatan tulang (Katch & McArdle, 1993). Bagaimana cara melawan semua proses degeneratif itu? Latihan beban akan meningkatkan kepadatan kalsium dalam tulang, asalkan asupan kalsium cukup. Membiasakan anak ikut latihan beban, berarti anak dapat bekal sejak dini melawan osteopenia dan osteoporosis kelak.

The American Academy of Pediatrics (AAP), the American College of Sports Medicine (ACSM), AOSSM, dan the National Strength and Conditioning Association (NSCA) – semua organisasi sport bergengsi tersebut mendukung strength training bagi anak/remaja. Banyak pakar fitness, dokter, dan orang tua yang kini yakin akan keuntungan strength training bagi anak mereka. Trend olahraga anak-anak jaman sekarang adalah, mereka selalu mencari cara untuk berprestasi di level kompetisi. Jumlah mereka meningkat pesat. Bayangkan benefit yang mereka dapatkan jika mengkombinasikan olahraga mereka dengan strength training.


Penelitian terbaru menunjukkan, keuntungan strength training lebih besar ketimbang resiko yang musti dipikul jika sampai terjadi hal yang tak diinginkan. Jika bicara soal strength training, maka resiko anak/remaja tidak lebih besar ketimbang mereka yang belum pernah latihan sekalipun (Guy et al., 2001).

Berikut ini adalah keuntungan strength training bagi anak :
• Kekuatan otot meningkat
• Kepadatan mineral tulang meningkat
• Kemampuan fitness kardio meningkat
• Profile lemak darah menjadi sehat
• Komposisi fisik terkoreksi (otot vs lemak) – keuntungan paling utama
• Menurunkan tekanan darah
• Tidak mudah cedera
• Rasa percaya diri meningkat
• Cara pandang terhadap diri dan sekitarnya terkoreksi
• Kebiasaan olahraga seumur hidup
• Memiliki konsep mengejar target/tujuan dalam tiap sendi kehidupannya
• Daya tarik terhadap kesehatannya meningkat
• Kebiasaan makan sehat terbentuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar